Jakarta - Di tengah keprihatinan nasional akibat bencana banjir dan longsor di Sumatra, sebuah gagasan dari kelompok muda menyuarakan kepedulian yang lebih dalam. Pandawara Group, melalui akun Instagram mereka, mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk bersatu dan berdonasi guna membeli hutan-hutan yang terancam beralih fungsi. Usulan yang viral dan didukung musisi Denny Caknan ini tidak hanya menjadi trending topic di media sosial, tetapi juga berhasil menggugah respons dari institusi legislatif. Wakil Ketua Komisi IV DPR, Alex Indra Lukman, memberikan tanggapan yang tidak sekadar menyoal aspek legalitas, tetapi juga menekankan dimensi politik dari gerakan tersebut. Ia menyatakan bahwa ide ini harus menjadi alarm atau peringatan bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi dan memperbaiki kebijakannya dalam melindungi hutan.
Alex mengakui bahwa banyak ide atau konsep yang muncul di publik seringkali hanya berhenti pada tataran wacana tanpa implementasi nyata. Namun, yang membedakan gagasan Pandawara adalah momentum dan gelombang dukungan yang menyertainya. Gerakan yang lahir dari keresahan anak muda ini, menurutnya, merefleksikan kegelisahan luas masyarakat terhadap kondisi hutan Indonesia yang kian terdegradasi. "Ide untuk gotong royong beli hutan berangkat dari niat baik, gerakan ini harusnya memicu pemerintah untuk evaluasi dan perbaiki kebijakan melindungi hutan sebagai sumber kehidupan," tegas Alex. Dengan demikian, nilai strategis gerakan ini terletak pada kemampuannya mendorong agenda politik dan perbaikan regulasi dari bawah.
Pernyataan Alex ini mengindikasikan adanya pengakuan dari sebagian anggota DPR bahwa kebijakan perlindungan hutan selama ini mungkin belum optimal. Evaluasi kebijakan yang dimaksud dapat mencakup banyak aspek, mulai dari efektivitas penegakan hukum terhadap perambah dan pelaku illegal logging, transparansi dalam pemberian izin pemanfaatan hutan, hingga harmonisasi kebijakan sektoral yang seringkali berbenturan, seperti antara kepentingan perkebunan, pertambangan, dan konservasi. Tekanan publik yang terorganisir melalui gerakan seperti ini diharapkan dapat mempercepat proses revisi undang-undang atau penerbitan peraturan pelaksana yang lebih protektif.
Di sisi lain, Alex juga mengingatkan bahwa secara hukum, hutan tidak dapat diperjualbelikan karena statusnya sebagai kekayaan negara yang dikuasai pemerintah, sesuai UU 41/1999. Namun, penegasan ini justru memperkuat argumennya tentang pentingnya peran negara. Jika mekanisme jual beli oleh masyarakat tidak dimungkinkan, maka konsekuensi logisnya adalah negara harus lebih optimal menjalankan fungsinya sebagai pelindung hutan. Ketidakmampuan atau kelambanan negara dalam menjalankan fungsi tersebutlah yang kemudian memunculkan inisiatif swadaya masyarakat seperti usulan Pandawara.
Oleh karena itu, respons DPR ini dapat dilihat sebagai ajakan untuk berkolaborasi. Alih-alih berjalan sendiri-sendiri, energi masyarakat perlu disinergikan dengan kebijakan negara. Alex mencontohkan bentuk partisipasi yang bisa dilakukan, seperti terlibat dalam rehabilitasi hutan atau menyediakan teknologi pemantauan. Bentuk kolaborasi lain yang mungkin adalah mendorong skema Perhutanan Sosial, dimana masyarakat diberikan akses untuk mengelola kawasan hutan negara secara legal untuk kesejahteraan mereka, dengan tetap menjaga kelestariannya. Atau, mendukung skema Tata Kelola Hutan Bersama (Collaborative Forest Management) yang melibatkan multipihak.
Viralnya gagasan Pandawara juga menunjukkan potensi kekuatan media sosial dan influencer dalam menggerakkan isu lingkungan. Dukungan spontan dari Denny Caknan, misalnya, memberi daya ungkit yang sangat besar. Politisi seperti Alex Indra Lukman tentu menyadari hal ini. Dalam politik modern, isu yang mendapat perhatian luas di media sosial seringkali lebih cepat direspons oleh pembuat kebijakan. Dengan kata lain, Pandawara telah berhasil "memasukkan" isu deforestasi ke dalam agenda setting politik nasional secara efektif.
Tantangan selanjutnya adalah memastikan bahwa "alarm" ini tidak berhenti bunyinya. Perlu ada mekanisme tindak lanjut agar desakan publik ini diterjemahkan menjadi tindakan kongkret oleh Komisi IV DPR selaku fungsi pengawasan, dan oleh pemerintah selaku pelaksana. Masyarakat sipil, termasuk Pandawara Group, dapat terus memantau dan mendorong proses ini, misalnya dengan mengajukan audiensi resmi, menyusun policy brief, atau mengkampanyekan isu-isu spesifik seperti moratorium izin baru di hutan alam.
Pada akhirnya, episode respons DPR terhadap usulan Pandawara ini adalah gambaran mini dari demokrasi lingkungan yang sedang bertumbuh di Indonesia. Masyarakat, terutama generasi muda, tidak lagi diam melihat kerusakan lingkungan. Mereka mengorganisir diri dan menyuarakan aspirasi. Lembaga negara dituntut untuk tidak hanya mendengar, tetapi juga merespons dengan kebijakan yang lebih baik. Jika sinergi ini dapat terjalin, maka bukan tidak mungkin upaya penyelamatan hutan Indonesia akan menemukan momentum dan format baru yang lebih menjanjikan untuk masa depan.